https://publiknet.blogspot.com/2022/08/silsilah-panjaitan.html
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

S.ALIN UU NO.30 TAHUN 2009

 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 30 TAHUN 2009

TENTANG

KETENAGALISTRIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang

merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. bahwa tenaga listrik mempunyai peran yang sangat

penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan

pembangunan nasional maka usaha penyediaan tenaga

listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu

terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan

pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah

yang cukup, merata, dan bermutu;

c. bahwa penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan

teknologi dan sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan

demokratisasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara maka peran pemerintah daerah

dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu

ditingkatkan;

d. bahwa di samping bermanfaat, tenaga listrik juga dapat

membahayakan sehingga penyediaan dan

pemanfaatannya harus memperhatikan ketentuan

keselamatan ketenagalistrikan;

e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang

Ketenagalistrikan tidak sesuai lagi dengan tuntutan

perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan

masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-

undang yang baru;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan

huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang

Ketenagalistrikan;

Mengingat . . .

-2-

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG–UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang

menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik

serta usaha penunjang tenaga listrik.

2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder

yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan

untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi

listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau

isyarat.

3. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan

tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi,

distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada

konsumen.

4. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan

memproduksi tenaga listrik.

5. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik

dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke

konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.

6. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik

dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke

konsumen.

7. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang

membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha

penyediaan tenaga listrik.

8. Usaha . . .

-3-

8. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha

penjualan tenaga listrik kepada konsumen.

9. Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana

pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang

meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi

tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan tenaga listrik.

10. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk

melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk

kepentingan umum.

11. Izin operasi adalah izin untuk melakukan penyediaan

tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan

Pemerintah sebagai tempat badan usaha distribusi

dan/atau penjualan tenaga listrik melakukan usaha

penyediaan tenaga listrik.

13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut

bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat

di atas tanah tersebut.

14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada

pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,

dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah

tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak

langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa

dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

15. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau

walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah.

17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan

ketenagalistrikan.

18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan baik

yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan

hukum.

BAB II . . .

-4-

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Pembangunan ketenagalistrikan menganut asas:

a. manfaat;

b. efisiensi berkeadilan;

c. berkelanjutan;

d. optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber

daya energi;

e. mengandalkan pada kemampuan sendiri;

f. kaidah usaha yang sehat;

g. keamanan dan keselamatan;

h. kelestarian fungsi lingkungan; dan

i. otonomi daerah.

(2) Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk

menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah

yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta

mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

BAB III

PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN

Bagian Kesatu

Penguasaan

Pasal 3

(1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang

penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan

pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi

daerah.

(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan

pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan

melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

Bagian Kedua . . .

-5-

Bagian Kedua

Pengusahaan

Pasal 4

(1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh

badan usaha milik negara dan badan usaha milik

daerah.

(2) Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya

masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha

penyediaan tenaga listrik.

(3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah

daerah menyediakan dana untuk:

a. kelompok masyarakat tidak mampu;

b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di

daerah yang belum berkembang;

c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan

perbatasan; dan

d. pembangunan listrik perdesaan.

BAB IV

KEWENANGAN PENGELOLAAN

Pasal 5

(1) Kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan

meliputi:

a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;

b. penetapan peraturan perundang-undangan di

bidang ketenagalistrikan;

c. penetapan pedoman, standar, dan kriteria di

bidang ketenagalistrikan;

d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik

untuk konsumen;

e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan

nasional;

f. penetapan wilayah usaha;

g. penetapan . . .

-6-

g. penetapan izin jual beli tenaga listrik lintas negara;

h. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik

untuk badan usaha yang:

1. wilayah usahanya lintas provinsi;

2. dilakukan oleh badan usaha milik negara; dan

3. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan

jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin

usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan

oleh Pemerintah;

i. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya

mencakup lintas provinsi;

j. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari

pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang

ditetapkan oleh Pemerintah;

k. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan

sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin

usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan

oleh Pemerintah;

l. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga

listrik dari pemegang izin operasi yang ditetapkan

oleh Pemerintah;

m. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik

yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau

penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki

oleh penanam modal asing;

n. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik

untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia,

dan informatika pada jaringan milik pemegang izin

usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi

yang ditetapkan oleh Pemerintah;

o. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha

di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan

oleh Pemerintah;

p. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;

q. pembinaan jabatan fungsional inspektur

ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat

pemerintahan; dan

r. penetapan sanksi administratif kepada badan

usaha yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Kewenangan . . .

-7-

(2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang

ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang

ketenagalistrikan;

b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah

provinsi;

c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik

untuk badan usaha yang wilayah usahanya lintas

kabupaten/kota;

d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya

mencakup lintas kabupaten/kota;

e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari

pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang

ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik

dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan

usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau

menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan

usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah

provinsi;

g. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga

listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya

ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

h. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik

untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia,

dan informatika pada jaringan milik pemegang izin

usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi

yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

i. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha

di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan

oleh pemerintah provinsi;

j. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk

provinsi; dan

k. penetapan sanksi administratif kepada badan

usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah

provinsi.

(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang

ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di

bidang ketenagalistrikan;

b. penetapan . . .

-8-

b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah

kabupaten/kota;

c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik

untuk badan usaha yang wilayah usahanya dalam

kabupaten/kota;

d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya

dalam kabupaten/kota;

e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari

pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang

ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan

sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha

yang menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan

jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang

izinnya ditetapkan oleh pemerintah

kabupaten/kota;

g. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik

bagi badan usaha yang mayoritas sahamnya

dimiliki oleh penanam modal dalam negeri;

h. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga

listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya

ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

i. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik

untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia,

dan informatika pada jaringan milik pemegang izin

usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi

yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

j. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha

di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan

oleh pemerintah kabupaten/kota;

k. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk

kabupaten/kota; dan

l. penetapan sanksi administratif kepada badan

usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah

kabupaten/kota.

BAB V . . .

-9-

BAB V

PEMANFAATAN SUMBER ENERGI PRIMER

Pasal 6

(1) Sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri

dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan

secara optimal sesuai dengan kebijakan energi nasional

untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang

berkelanjutan.

(2) Pemanfaatan sumber energi primer sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan

mengutamakan sumber energi baru dan energi

terbarukan.

(3) Pemanfaatan sumber energi primer yang terdapat di

dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diutamakan untuk kepentingan ketenagalistrikan

nasional.

BAB VI

RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN

Pasal 7

(1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun

berdasarkan pada kebijakan energi nasional dan

ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) disusun dengan

mengikutsertakan pemerintah daerah.

(3) Rencana umum ketenagalistrikan daerah disusun

berdasarkan pada rencana umum ketenagalistrikan

nasional dan ditetapkan oleh pemerintah daerah

setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

(4) Pedoman penyusunan rencana umum ketenagalistrikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)

ditetapkan oleh Menteri.

BAB VII . . .

- 10 -

BAB VII

USAHA KETENAGALISTRIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 8

Usaha ketenagalistrikan terdiri atas:

a. usaha penyediaan tenaga listrik; dan

b. usaha penunjang tenaga listrik.

Bagian Kedua

Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Pasal 9

Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:

a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan

umum; dan

b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan

sendiri.

Pasal 10

[

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan

umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a

meliputi jenis usaha:

a. pembangkitan tenaga listrik;

b. transmisi tenaga listrik;

c. distribusi tenaga listrik; dan/atau

d. penjualan tenaga listrik.

(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan

umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan secara terintegrasi.

(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan

umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha.

(4) Pembatasan . . .

- 11 -

(4) Pembatasan wilayah usaha sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) juga berlaku untuk usaha penyediaan

tenaga listrik untuk kepentingan umum yang hanya

meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan

tenaga listrik.

(5) Wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dan ayat (4) ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 11

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan

umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)

dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan

usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan

swadaya masyarakat yang berusaha di bidang

penyediaan tenaga listrik.

(2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha

penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

(3) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan

tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah

sesuai kewenangannya memberi kesempatan kepada

badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau

koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan

tenaga listrik terintegrasi.

(4) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan

usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan

tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah wajib

menugasi badan usaha milik negara untuk

menyediakan tenaga listrik.

Pasal 12

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi:

a. pembangkitan tenaga listrik;

b. pembangkitan tenaga listrik dan distribusi tenaga

listrik; atau

c. pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik,

dan distribusi tenaga listrik.

Pasal 13 . . .

- 12 -

Pasal 13

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat dilaksanakan

oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha

milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha

swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha

lainnya.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyediaan tenaga

listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan

Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Usaha Penunjang Tenaga Listrik

Pasal 15

Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 huruf b terdiri atas:

a. usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan

b. usaha industri penunjang tenaga listrik.

Pasal 16

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:

a. konsultansi dalam bidang instalasi penyediaan

tenaga listrik;

b. pembangunan dan pemasangan instalasi penyediaan

tenaga listrik;

c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;

d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;

e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat

tenaga listrik;

i. sertifikasi . . .

- 13 -

i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik

ketenagalistrikan; atau

k. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan

dengan penyediaan tenaga listrik.

(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha

milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha

swasta, dan koperasi yang memiliki sertifikasi,

klasifikasi, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,

badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan

usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib

mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi,

dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 huruf b meliputi:

a. usaha industri peralatan tenaga listrik; dan/atau

b. usaha industri pemanfaat tenaga listrik.

(2) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha

milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha

swasta, dan koperasi.

(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,

badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan

usaha industri penunjang tenaga listrik wajib

mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

(4) Kegiatan usaha industri penunjang tenaga listrik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

BAB VIII . . .

- 14 -

BAB VIII

PERIZINAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 18

Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang

tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha.

Bagian Kedua

Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan Izin Operasi

Pasal 19

(1) Izin usaha untuk menyediakan tenaga listrik terdiri

atas:

a. Izin usaha penyediaan tenaga listrik; dan

b. Izin operasi.

(2) Setiap orang yang menyelenggarakan penyediaan tenaga

listrik untuk kepentingan umum wajib memiliki izin

usaha penyediaan tenaga listrik.

Pasal 20

Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a ditetapkan sesuai dengan

jenis usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat

(1).

Pasal 21

Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan tenaga

listrik.

Pasal 22

Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)

huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan

kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23 . . .

- 15 -

Pasal 23

(1) Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22

ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah

sesuai dengan kewenangannya.

(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan setelah memenuhi persyaratan administratif,

teknis, dan lingkungan.

(3) Pemegang izin operasi dapat menjual kelebihan tenaga

listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum

setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah atau

pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha penyediaan

tenaga listrik dan izin operasi diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Bagian Ketiga

Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik

Pasal 25

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan Pasal 16 ayat (2)

dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha jasa

penunjang tenaga listrik dari Pemerintah atau

pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik dan

izin usaha industri penunjang tenaga listrik

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha jasa penunjang

tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat . . .

- 16 -

Bagian Keempat

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Pasal 27

(1) Untuk kepentingan umum, pemegang izin usaha

penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha

penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10 ayat (1) berhak untuk:

a. melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di

bawah permukaan;

b. melintasi laut baik di atas maupun di bawah

permukaan;

c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;

d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan

menggunakannya untuk sementara waktu;

e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di

bawah tanah;

f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang

dibangun di atas atau di bawah tanah; dan

g. memotong dan/atau menebang tanaman yang

menghalanginya.

(2) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), pemegang izin usaha penyediaan tenaga

listrik harus melaksanakannya berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 28

Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib:

a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar

mutu dan keandalan yang berlaku;

b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada

konsumen dan masyarakat;

c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan

d. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Bagian Kelima . . .

- 17 -

Bagian Kelima

Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 29

(1) Konsumen berhak untuk:

a. mendapat pelayanan yang baik;

b. mendapat tenaga listrik secara terus-menerus

dengan mutu dan keandalan yang baik;

c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya

dengan harga yang wajar;

d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada

gangguan tenaga listrik; dan

e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman

yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian

pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan

tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam

perjanjian jual beli tenaga listrik.

(2) Konsumen wajib:

a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang

mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;

b. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik

konsumen;

c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan

peruntukannya;

d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan

e. menaati persyaratan teknis di bidang

ketenagalistrikan.

(3) Konsumen bertanggung jawab apabila karena

kelalaiannya mengakibatkan kerugian pemegang izin

usaha penyediaan tenaga listrik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab

konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur

dengan Peraturan Menteri.

BAB IX . . .

- 18 -

BAB IX

PENGGUNAAN TANAH

Pasal 30

(1) Penggunaan tanah oleh pemegang izin usaha

penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan

dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau

kompensasi kepada pemegang hak atas tanah,

bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan

secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan

tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas

tanah.

(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak

langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga

listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai

ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang

dilintasi transmisi tenaga listrik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan

kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha

penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian tanah

yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau

pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan,

pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib

menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan.

(6) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha

penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat,

penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan di bidang pertanahan dengan

memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.

Pasal 31 . . .

- 19 -

Pasal 31

Kewajiban untuk memberi ganti rugi hak atas tanah atau

kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)

tidak berlaku terhadap setiap orang yang sengaja

mendirikan bangunan, menanam tanaman, dan lain-lain di

atas tanah yang sudah memiliki izin lokasi untuk usaha

penyediaan tenaga listrik dan sudah diberikan ganti rugi hak

atas tanah atau kompensasi.

Pasal 32

(1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak

atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan

kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

BAB X

HARGA JUAL, SEWA JARINGAN, DAN TARIF TENAGA LISTRIK

Bagian Kesatu

Harga Jual Tenaga Listrik dan Sewa Jaringan Tenaga Listrik

Pasal 33

(1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik

ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.

(2) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya memberikan persetujuan atas harga

jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.

(3) Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang

menerapkan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan

tenaga listrik tanpa persetujuan Pemerintah atau

pemerintah daerah.

Bagian Kedua . . .

- 20 -

Bagian Kedua

Tarif Tenaga Listrik

Pasal 34

(1) Pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan

tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat menetapkan

tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Pemerintah menetapkan tarif tenaga listrik untuk

daerah tersebut dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia.

(4) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan

dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan

nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha

penyediaan tenaga listrik.

(5) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditetapkan

secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah

usaha.

Pasal 35

Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang

menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak

sesuai dengan penetapan Pemerintah atau pemerintah

daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 36

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga

jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga . . .

- 21 -

Bagian Ketiga

Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara

Pasal 37

Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh

pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik berdasarkan

izin Pemerintah.

Pasal 38

Jual beli tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan melalui

pembelian atau penjualan tenaga listrik.

Pasal 39

Pembelian tenaga listrik lintas negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan dengan syarat:

a. belum terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik setempat;

b. hanya sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan tenaga

listrik setempat;

c. tidak merugikan kepentingan negara dan bangsa yang

terkait dengan kedaulatan, keamanan, dan pembangunan

ekonomi;

d. untuk meningkatkan mutu dan keandalan penyediaan

tenaga listrik setempat;

e. tidak mengabaikan pengembangan kemampuan

penyediaan tenaga listrik dalam negeri; dan

f. tidak menimbulkan ketergantungan pengadaan tenaga

listrik dari luar negeri.

Pasal 40

Penjualan tenaga listrik lintas negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan apabila:

a. kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya

telah terpenuhi;

b. harga jual tenaga listrik tidak mengandung subsidi; dan

c. tidak mengganggu mutu dan keandalan penyediaan

tenaga listrik setempat.

Pasal 41 . . .

- 22 -

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai jual beli tenaga listrik lintas

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai

dengan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

LINGKUNGAN HIDUP DAN KETEKNIKAN

Bagian Kesatu

Lingkungan Hidup

Pasal 42

Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi

ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-

undangan di bidang lingkungan hidup.

Bagian Kedua

Keteknikan

Pasal 43

Keteknikan ketenagalistrikan terdiri atas:

a. keselamatan ketenagalistrikan; dan

b. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan

telekomunikasi, multimedia, dan informatika.

Pasal 44

(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib

memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.

(2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan

kondisi:

a. andal dan aman bagi instalasi;

b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup

lainnya; dan

c. ramah lingkungan.

(3) Ketentuan . . .

- 23 -

(3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat

tenaga listrik;

b. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan

c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.

(4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib

memiliki sertifikat laik operasi.

(5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib

memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.

(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan

wajib memiliki sertifikat kompetensi.

(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan,

sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan

sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 45

(1) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan

telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya

dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu

kelangsungan penyediaan tenaga listrik.

(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan

persetujuan pemilik jaringan.

(3) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin

pemanfaatan jaringan yang diberikan oleh Pemerintah

atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan

tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII . . .

- 24 -

BAB XII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 46

(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik

dalam hal:

a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk

pembangkit tenaga listrik;

b. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;

c. pemenuhan persyaratan keteknikan;

d. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup;

e. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam

negeri;

f. penggunaan tenaga kerja asing;

g. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan

tenaga listrik;

h. pemenuhan persyaratan perizinan;

i. penerapan tarif tenaga listrik; dan

j. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha

penunjang tenaga listrik.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dapat:

a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;

b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang

ketenagalistrikan;

c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan

pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan

d. memberikan sanksi administratif terhadap

pelanggaran ketentuan perizinan.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan

pemerintah daerah dibantu oleh inspektur

ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri

Sipil.

(4) Ketentuan . . .

- 25 -

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan

pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII

PENYIDIKAN

Pasal 47

(1) Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas

dan tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan

diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana

untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang

ketenagalistrikan.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan

atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana

dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang

diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan

usaha ketenagalistrikan;

c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa

sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak

pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;

d. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk

melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha

ketenagalistrikan;

e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana

kegiatan usaha ketenagalistrikan dan menghentikan

penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk

melakukan tindak pidana;

f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha

ketenagalistrikan yang digunakan untuk melakukan

tindak pidana sebagai alat bukti;

g. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak

pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan; dan

h. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana di

bidang ketenagalistrikan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

(3) Penyidik . . .

- 26 -

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan

perkara pidana kepada Pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

BAB XIV

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 48

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3),

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 33 ayat (3), Pasal 35,

Pasal 37, Pasal 42, atau Pasal 45 ayat (3) dikenai sanksi

administratif berupa:

a. teguran tertulis;

b. pembekuan kegiatan sementara; dan/atau

c. pencabutan izin usaha.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau

bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan

sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 49

(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga

listrik untuk kepentingan umum tanpa izin

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah).

(2) Setiap . . .

- 27 -

(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga

listrik tanpa izin operasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan denda paling banyak

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik

untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa

persetujuan dari Pemerintah atau pemerintah daerah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)

tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah).

Pasal 50

(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan

ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang

karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga

listrik atau pemegang izin operasi dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).

(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau

pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk memberi

ganti rugi kepada korban.

(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 51

(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan

ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

44 ayat (1) sehingga mempengaruhi kelangsungan

penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Apabila . . .

- 28 -

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga

merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang

bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda

paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima

ratus juta rupiah).

Pasal 52

(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga

listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang

berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan izin

usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi.

Pasal 53

Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa

penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 54

(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga

listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

(2) Setiap . . .

- 29 -

(2) Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau

memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga

listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat

(5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

Pasal 55

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 49 sampai dengan Pasal 54 dilakukan oleh badan

usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha

dan/atau pengurusnya.

(2) Dalam hal pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang

dikenakan berupa denda maksimal ditambah

sepertiganya.

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 56

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

1. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai badan

usaha milik negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan

Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara

menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dianggap telah

memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik.

2. Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun,

Pemerintah telah melakukan penataan dan penetapan

izin usaha penyediaan tenaga listrik kepada badan usaha

milik negara sebagaimana dimaksud pada angka 1 sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang ini.

3. Izin . . .

- 30 -

3. Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum,

Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri,

dan Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang telah

dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tetap berlaku

sampai habis masa berlakunya.

4. Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun,

pelaksanaan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk

Kepentingan Umum, Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk

Kepentingan Sendiri, dan Izin Usaha Penunjang Tenaga

Listrik yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

sebagaimana dimaksud pada angka 3 disesuaikan dengan

ketentuan Undang-Undang ini.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 57

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang

Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3317) dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku.

(2) Peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang

telah ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti

berdasarkan Undang-Undang ini.

(3) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah

ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun

sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 58

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar . . .

- 31 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 133

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Deputi Menteri Sekretaris Negara

Bidang Perundang-undangan,

ttd.

Muhammad Sapta Murti

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 30 TAHUN 2009

TENTANG

KETENAGALISTRIKAN

I. UMUM

Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna

mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat

adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga

listrik, sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai

peranan penting bagi negara dalam mewujudkan pencapaian tujuan

pembangunan nasional.

Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan

dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan

tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan

pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan

melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha

penyediaan tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha

milik negara dan badan usaha milik daerah. Untuk lebih meningkatkan

kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, Undang-Undang ini

memberi kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya

masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, Pemerintah atau pemerintah daerah

sesuai dengan kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan tenaga

listrik.

Berbagai permasalahan ketenagalistrikan yang saat ini dihadapi oleh

bangsa dan negara telah diantisipasi dalam Undang-Undang ini yang

mengatur, antara lain, mengenai pembagian wilayah usaha penyediaan tenaga

listrik yang terintegrasi, penerapan tarif regional yang berlaku terbatas untuk

suatu wilayah usaha tertentu, pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk

kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika, serta mengatur

tentang jual beli tenaga listrik lintas negara yang tidak diatur dalam Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.

Dalam . . .

-2-

Dalam rangka peningkatan penyediaan tenaga listrik kepada

masyarakat diperlukan pula upaya penegakan hukum di bidang

ketenagalistrikan. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai

kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan

usaha ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang

keteknikan.

Selain bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan. Oleh

karena itu, untuk lebih menjamin keselamatan umum, keselamatan kerja,

keamanan instalasi, dan kelestarian fungsi lingkungan dalam penyediaan

tenaga listrik dan pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik harus

menggunakan peralatan dan perlengkapan listrik yang memenuhi standar

peralatan di bidang ketenagalistrikan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa hasil

pembangunan ketenagalistrikan harus dapat dimanfaatkan

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas efisiensi berkeadilan” adalah bahwa

pembangunan ketenagalistrikan harus dapat dilaksanakan

dengan biaya seminimal mungkin, tetapi dengan hasil yang dapat

dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah bahwa usaha

penyediaan tenaga listrik harus dikelola dengan baik agar dapat

terus berlangsung secara berkelanjutan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas optimalisasi ekonomi dalam

pemanfaatan sumber daya energi” adalah bahwa penggunaan

sumber energi untuk pembangkitan tenaga listrik harus

dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan sumber energi.

Huruf e . . .

-3-

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas mengandalkan pada kemampuan

sendiri” adalah bahwa pembangunan ketenagalistrikan dilakukan

dengan mengutamakan kemampuan dalam negeri.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas kaidah usaha yang sehat” adalah

bahwa usaha ketenagalistrikan dilaksanakan dengan menerapkan

prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,

dan kewajaran.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas keamanan dan keselamatan” adalah

bahwa penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik harus

memperhatikan keamanan instalasi, keselamatan manusia, dan

lingkungan hidup di sekitar instalasi.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas kelestarian fungsi lingkungan”

adalah bahwa penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik harus

memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan

lingkungan sekitar.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang

penting dan strategis dalam kehidupan nasional, usaha penyediaan

tenaga listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya

ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran

rakyat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dalam

ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan tenaga

listrik.

Ayat (2) . . .

-4-

Ayat (2)

Partisipasi badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat

dilakukan dalam rangka memperkuat pemenuhan kebutuhan tenaga

listrik. Swadaya masyarakat dapat berbentuk badan hukum.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sumber energi baru dan energi terbarukan dimanfaatkan dengan tetap

memperhatikan keekonomiannya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”kebijakan energi nasional” adalah kebijakan

energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Energi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

-5-

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Wilayah usaha bukan merupakan wilayah administrasi pemerintahan.

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan

perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik.

Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata

berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Yang dimaksud dengan “kepentingan sendiri” adalah penyediaan tenaga

listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.

Yang dimaksud dengan ”lembaga/badan usaha lainnya” adalah

perwakilan lembaga asing atau badan usaha asing.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16 . . .

-6-

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila

produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila

produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Dalam penetapan izin, Pemerintah atau pemerintah daerah

memperhatikan kemampuan dalam penyediaan tenaga listrik pemegang

izin usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha

setempat.

Izin usaha penyediaan tenaga listrik memuat, antara lain, nama dan

alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam

penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi.

Pasal 22 . . .

-7-

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila

produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”instalasi tenaga listrik milik konsumen”

adalah instalasi tenaga listrik setelah alat pengukur atau alat

pembatas penggunaan tenaga listrik.

Huruf c . . .

-8-

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Ganti rugi hak atas tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat

digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan

sebagian tanahnya oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

Yang dimaksud dengan ”secara langsung” adalah penggunaan tanah

untuk pembangunan instalasi tenaga listrik, antara lain,

pembangkitan, gardu induk, dan tapak menara transmisi.

Ayat (3)

Secara tidak langsung dalam ketentuan ini antara lain penggunaan

tanah untuk lintasan jalur transmisi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33 . . .

-9-

Pasal 33

Ayat (1)

Pengertian harga jual tenaga listrik meliputi semua biaya yang

berkaitan dengan penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga

listrik.

Pengertian harga sewa jaringan tenaga listrik meliputi semua biaya

yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau

distribusi tenaga listrik.

Ayat (2)

Dalam menetapkan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa

jaringan tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah

memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang

berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain,

biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya

pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum

yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan

batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Kepentingan daerah mencakup, antara lain, pembangunan ekonomi

dan industri di daerah.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36 . . .

- 10 -

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan ”pengembangan kemampuan penyediaan

tenaga listrik dalam negeri” adalah pengembangan sumber energi,

sumber daya manusia, dan teknologi.

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45 . . .

- 11 -

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Angka 1

Cukup jelas.

Angka 2

Penataan dimaksudkan agar badan usaha milik negara menjadi lebih

efisien dan efektif dalam melakukan pelayanan penyediaan tenaga

listrik kepada masyarakat.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4 . . .

- 12 -

Angka 4

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5052

Post a Comment for "S.ALIN UU NO.30 TAHUN 2009"

Wikipedia publiknet

Search results