ARTIKEL. ALIRAN FILSAFAT HUKUM
ALIRAN FILSAFAT HUKUM
Ifni Aqmarina1 Sri Salwa2 Rizki Fazri3 Rudi Safrizal4
Ria Dolly Indra Wijaya Manurung5
Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Asahan
Email : ifniaqmarina@gmail.com 1 srisalwa33@gmail.com 2 rizkifazri859@gmail.com3
rudisyafrizal79@gmail.com4 dollymanurung20@gmail.com5
ABSTRAK
Filsafat merupakan proses berpikir logis, radikal, universal, dan sistematis dalam rangka
memahami sebuah kenyataan. Proses berpikir semacam ini tentu saja sangat bervariasi. Logika
berpikir ada bermacam-macam; logika filsuf Timur cenderung lebih terfokus pada religiusitas dan
spiritualitas, sementara para filsuf Barat cenderung lebih rasionalis dan empiris. Sementara itu,
filsafat hukum digambarkan sebagai suatu disiplin modern yang memiliki tugas untuk
menganalisis konsep-konsep perskriptif yang berkaitan dengan yurisprudensi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui aliran-aliran filsafat hukum dalam ranah filsafat yang kemunculan
nya sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat pada umumnya. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif),
dimana data diperoleh melalui studi kepustakaan jurnal-jurnal yang terkait. Hasil yang diperoleh
dari penelitian yaitu aliran-aliran filsafat hukum antara lain , aliran hukum alam, postivisme
hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme hukum; dan
freirechtslehre.
Kata Kunci : filsafat, hukum, aliran filsafat hokum
ABSTRACT
Philosophy is a process of logical, radical, universal, and systematic thinking in order to understand
a reality. This kind of thought process, of course, varies widely. Logical thinking exists in many
ways; Eastern philosophers' logic tends to be more focused on religiosity and spirituality, while
Western philosophers tend to be more rationalist and empirical. Meanwhile, legal philosophy is
described as a modern scientific discipline whose task is to analyze perscriptive concepts related
to jurisprudence. This study aims to find out the schools of legal philosophy in the realm of
philosophy whose emergence cannot be separated from the history of the development of
philosophy in general. The research method used is normative juridical research (normative legal
research method), where data is obtained through a literature study of related journals. The results
obtained from the research are legal philosophy schools, including natural law schools, positivism
law, utilitarianism, historical schools, sociological jurisprudence, realism law; and freirechtslehre.
Keywords: philosophy, law, legal philosophy
PENDAHULUAN
Filsafat pada awalnya dikenal pada kisaran tahun 700 SM, di Yunani. Filsafat yang dalam
bahasa Yunani disebut philoshopia, pada dasarnya terkonstruksi dari dua suku kata, philos atau
philia dan sophos. Philos diartikan sebagai cinta persahabatan, sedangkan sophos berarti hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan inteligensia. Oleh karena itu,
philosophia dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran.1
Secara umum filsafat dapat dibedakan dalam dua pengertian, yakni filsafat sebagai ilmu
dan sebagai pandangan hidup. Sebagai ilmu, filsafat merupakan suatu proses yang terus bergulir.
Lain halnya dengan filsafat sebagai pandangan hidup, yang berarti sudah mempunyai wujud final,
atau lazim disebut filsafat dalam arti produk. Dalam arti produk, filsafat sudah merupakan pilihan
atas nilai-nilai yang diyakini paling baik dan paling benar.
Secara sederhana filsafat merupakan proses berpikir logis, radikal, universal, dan
sistematis dalam rangka memahami sebuah kenyataan. Proses berpikir semacam ini tentu saja
sangat bervariasi. Logika berpikir ada bermacam-macam; logika filsuf Timur cenderung lebih
terfokus pada religiusitas dan spiritualitas, sementara para filsuf Barat cenderung lebih rasionalis
dan empiris. Kedalaman pemikiran juga beraneka ragam; ada yang hanya sebatas memikirkan
yang empiris, namun ada juga yang lebih dalam menjangkau alam metafisik. Keluasan ranah
pemikiran juga begitu; ada yang hanya memikirkan ruang dan waktu tertentu, tetapi ada pula yang
pemikirannya jauh menembus batas ruang dan waktu. Begitu pula sistematika pemikiran filsafat
sangat majemuk; ada yang sangat ilmiah, namun ada pula yang murni rasional, ada yang religius,
1 Amsal Bakhtiar, 1997, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, hlm. 7.
bahkan ada pula yang ateis. Hal ini tentu termasuk pula ragam metode filsafat yang, menurut
Rapar, jumlahnya adalah sebanyak jumlah filsufnya itu sendiri.2
Pada prinsipnya pengertian ataupun defenisi dari hukum sangat sulit untuk dirumuskan
dalam suatu batasan yang paling sempurna. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum itu
banyak segi dan selalu mengikuti perkembangan zaman. E. Utrecht sebagaimana dikutip oleh
C.S.T Kansil memberikan batasan hukum sebagai berikut: “hukum itu adalah himpunan peraturan-
peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat
dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.3
Setelah menjelaskan pengertian filsafat dan hukum sebagaimana di atas, maka kemudian
untuk menganalisis bagaimana filsafat dan hukum bersinergi sehingga menghasilkan filsafat
hukum. Dalam beberapa literatur filsafat hukum digambarkan sebagai suatu disiplin modern yang
memiliki tugas untuk menganalisis konsep-konsep perskripif yang berkaitan dengan jurisprudensi.
Dalam beberapa literatur filsafat hukum digambarkan sebagai suatu disiplin modern yang
memiliki tugas untuk menganalisis konsep-konsep perskriptif yang berkaitan dengan
yurisprudensi. Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of
law, atau rechts filosofie. Pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa filsafat hukum adalah ilmu, ada yang mengatakan filsafat teoretis, ada yang
berpendapat sebagai filsafat terapan dan filsafat praktis, ada yang mengatakan sebagai subspesies
dari filsafat etika, dan lain sebagainya.
2 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 94.
3 M.Wantu, Fence, 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Gorontalo: Ung Press, h.1
Dikenal beberapa istilah Filsafat Hukum dalam bahasa asing, seperti di Inggris
menggunakan 2 (dua) istilah yaitu Legal Philosophy atau Philosophy of Law, kemudian di Belanda
juga menggunakan 2 (dua) istilah yaitu Wijsbegeerte van het Recht dan Rechts Filosofie dan di
Jerman menggunakan istilah Filosofie des Rechts. Istilah Filsafat Hukum dalam Bahasa Indonesia
merupakan terjemahan dari istilah Philosophy of Law atau Rechts Filosofie. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, lebih tepat menerjemahkan Filsafat Hukum sebagai padanan dari Philosophy of
Law atau Rechts Filosofie daripada Legal Philosophy. Istilah Legal dalam Legal Philosophy sama
pengertiannya dengan Undang-Undang atau hal-hal yang bersifat resmi, jadi kurang tepat
digunakan untuk peristilahan yang sama dengan Filsafat Hukum. Hal ini didasarkan pada
argumentasi bahwa hukum bukan hanya Undang-Undang saja dan hukum bukan pula hal-hal yang
bersifat resmi belaka.4
Filsafat hukum sebagai salah satu ranting dari filsafat, dapat digolongkan ke dalam
pengertian filsafat dalam arti proses itu. Dalam konstelasi (ilmu) filsafat, filsafat hukum adalah
cabang dari filsafat tingkah laku atau etika. Filsafat tingkah laku berada dalam cabang filsafat nilai
(aksiologi).
Filsafat hukum dengan demikian adalah (ilmu) filsafat yang mengambil objek bahasan
tentang hukum. Hukum tidak sekadar dibahas dari fenomena yang ada, tetapi dikupas secara
filsafati, sehingga sampai kepada hakikatnya, atau hingga ke pencarian nilai-nilai hukum secara
radikal, spekulatif, dan reflektif-kritis. Karena sifat-sifat (ilmu) filsafat inilah, maka jawaban yang
diberikan filsafat selalu "sementara benar."
4 Aburaera, Sukarno, Muhadar, dan Maskun, 2013. Filsafat Hukum : Teori dan Praktik. Jakarta : Penerbit Kencana.
Menurut Aristoteles, kedudukan filsafat hukum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
2. Filsafat teoretis. Dalam cabang ini mencakup tiga macam ilmu, yaitu: 1) Fisika yang
mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini; 2) Matematika yang mempersoalkan benda-
benda alam dalam kuantitasnya; 3) Metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala
sesuatu ilmu metafisika.
3. Filsafat praktis. Dalam cabang ini tercakup tiga macam ilmu, yakni: 1) Etika yang mengatur
kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan; 2) Ekonomi yang mengatur kesusilaan
dan kemakmuran dalam keluarga; 3) Politik yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran
dalam negara.
4. Filsafat poetika biasa disebut dengan filsafat estetika. Filsafat ini meliputi kesenian dan
sebagainya. Uraian filsafat Aristoteles, menunjukkan bahwa filsafat hukum hadir sebagai
sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum dalam membentuk dan
menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual. Oleh
karena itu, filsafat hukum merupakan alternatif yang dipandang tepat untuk memperoleh
solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum.5
Munculnya aliran-aliran filsafat hukum dalam ranah filsafat sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat pada umumnya. Sejarah perkembangan filsafat
memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam menjamurnya aliran-aliran filsafat berdasarkan
5 Aprita, Serikat, Adhitya, 2020. Filsafat Hukum. Depok : PT RAJAGRAFINDO PERSADA
tahapan periode perkembangan filsafat itu sendiri. Penelitian kali ini menggunakan metode
penelitian yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif). Metode penelitian yuridis
normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan
pustaka atau data sekunder belaka. Beberapa aliran-aliran dalam filsafat hukum yang akan kita
jelaskan lebih lanjut adalah: (1) aliran hukum alam; (2) postivisme hukum; 3) utilitarianisme; (4)
mazhab sejarah; (5) sociological jurisprudence; (6) realisme hukum; dan (7) freirechtslehre.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan artikel ini adalah penelitian yuridis
normatif (metode penelitian hukum normatif). Metode penelitian yuridis normatif adalah
penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau data
sekunder belaka. Objek yang dianalisis dengan pendekatan yang bersifat kualitatif adalah metode
penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau documentary studi untuk
mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan
mempelajari buku, jurnal hukum hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
PEMBAHASAN
ALIRAN FILSAFAT HUKUM
A. Aliran Hukum Alam
Perkembangan aliran hukum alam telah dimulai sejak 2.500 tahun yang lalu, yang bermula
pada pencarian cita-cita pada tingkatan yang lebih tinggi. Dalam sejarah, Friedman,6 menyatakan
bahwa aliran ini timbul karena kegagalam umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut.
Hukum alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
6 Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali. hlm. 47
Dipahami bahwa aliran hukum alam merupakan media untuk mentransformasikan hukum
sipil kuno pada zaman Romawi menuju pada zaman yang dianggap sebagai perkembangan dari
zaman kuno tersebut. Dalam hal ini, gagasan mengenai hukum alam didasarkan kepada asumsi
bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih
tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.7
Aliran hukum alam pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam: (1) aliran hukum alam
irasional, dan (2) aliran hukum alam rasional. Aliran hukum alam yang irasional berpandangan
bahwa segala bentuk hukum yang bersifat universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara
langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat sumber dari hukum yang
universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Para pendukung aliran hukum alam yang irasional,
antara lain homas Aquinas, Jhon Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan Jhon
Wyclife. Tokoh-tokoh aliran hukum alam yang rasional, antara lain Hugo de Groot (Grotius),
Cristian homasius, Immanuel Kant, dan Samuel von Pufendorf.8
B. Positivisme Hukum
Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke-19. Sistem ini didasarkan
pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam bentuk pengalaman,
atau apabila ia sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan, atau apabila ia ditentukan
melalui ilmu-ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh suatu
kenyataan.9
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum Positif Analitis
(Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh
7 Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum, Jakarta: Rajawali. hlm. 5-6.
8 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 104.
9 Theo Huijbers, Op. cit, hlm. 122.
John Austin dan (2) Aliran Hukum Murni (Re- ine Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme
yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.10
1. Aliran Positivisme Sosiologis: Jhon Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum itu sendiri, menurut Austin
terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan
tertutup. Dalam bukunya he province of Jurisprudence Determinal, Austin menyatakan “A law is
a com- mand which obliges a persons... Laws and other commands are said to proceed from
superiors, and to bind or oblige inferiors.”
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: (1) hukum dari Tuhan untuk
manusia (he divine laws), dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Menegenai hukum yang dibaut
oleh manusia dapat dibedakan lagi dalam: (1) hukum yang sebenarnya, dan (2) hukum yang tidak
sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum
yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum
yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti
ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu:
(1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), dan (4) kedaulatan
(sovereignty).
2. Aliran Positivisme Yuridis: Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis, seperti
unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang kemudian dikenal dengan
Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollens kategorie
(kategori keharus- an/ideal), bukan Seins Kategorie (kategori faktual).
Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai
makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu
10 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hlm.113.
seharusnya” (what the law ought to be). Tetapi “apa hukumnya itu Sollen Kategorie, yang dipakai
adalah hukum positif (ius consitusium), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen
mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama selali tidak
mengetahui karya Austin.11 Walaupun demikian, asal usul ilosois antara pemikiran Kelsen dan
Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan Austin pada
utilitarianisme.
C. Ultilitarianisme12
Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metaisis dan abstrak dari
ilsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan
disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happinnes). Jadi,
baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak
mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh
sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (he greatest happines for the
greatest number of people).
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat
paham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah men- ciptakan
ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan pemerintah perintah
penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio saja.
11 Friedmann, Op. cit., hlm. 169.
12 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hlm.117-121.
D. Mazhab Sejarah
Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga hal), yaitu:13
1. Rasinalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip
dasar yang semuanya berperan pada ilsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan
pikiran deduktif tanpa memerhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional;
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
kos 14 mopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
mengatasi lingkungannya), seruannya ke segala penjuru dunia.
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang ha- kim menafsirkan hukum karena
undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan
sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus
disimpan dengan baik sebagai suatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodiikasi umum Jerman setelah
berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh hibaut (1772-1840), guru besar pada
universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul Uber die
Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan kesatuan negara, ia
menyatakan keberatan terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk
diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilang
keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan
penyusunan undang-undang dalam kitab. Hal ini merupakan kebanggaan Jerman.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, abad ke-18 adalah abad rasionalisme. Pemikiran
rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi
salah satu penyebab munculnya Mazhab Sejarah, yang menentang universalisme. Mazhab Sejarah
13
Basuki, 1989, “Mazhab Sejarah dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan hukum Nasional Indonesia,” dalam:
Lili Rasjidi & B. Arief Idharta (Eds.). Filsafat Hukum, Mazhab dan Releksinya, Bandung: Remadja Karya, hlm. 332.
14 Soekanto, 1979, Pengantar Sejarah Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 26.
juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum
memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut Mazhab Sejarah sudah mengarah pada
bangsa, tepatnya jiwa dan bangsa (Volksgeist).15
E. Sociological Jurisprudence
Menurut Paton istilah sociological dalam menamai aliran ini kurang tepat dan dapat
menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional” oleh karena
itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini dengan Functional Anthropo logical.
Dengan menggunakan istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan di atas, Paton ingin
menghindari kekacauan antara sociological Juris- prudence dan sosiologi hukum (the sociologi of
law).16
Menurut Lily Rasjidi,17 perbedaan antara sosciological Jurisprudence dan sosiologi hukum
adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah sebagai berikut.
Pertama, sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi
hukum adalah cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah
tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda.
Sociological Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi
hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
F. Realisme Hukum
Realisme hukum berkembang dalam waktu bersamaan dengan Sociological Jurisprudence.
Ada penulis yang memasukkan “aliran” ini sebagai bagian dari Positivisme Hukum,18 tetapi ada
yang memasukkannya sebagai bagian dari Neopositivisme 19 atau bahkan sebagai aliran
tersendiri.20 Adapula yang mengidentikkan realisme dengan Pragmatic Legal Realisme.
Dalam paparan ini, penggolongan dan sebutan lain di atas tidak akan dibedakan secara
spesiik. Pragmatic Realisme akan dimasukkan ke dalam Realisme Amerika karena memang sikap
15 Paton, 1951, hlm. 15.
16 Aburaera, Sukarno, Muhadar, dan Maskun, 2013. Filsafat Hukum : Teori dan Praktik. Jakarta : Penerbit Kencana,
h.123.
17Rasjidi, Op. cit., hlm. 48-49.
18 Friedmann, Op. cit., hlm. 187.
19 Huijbers, Op.cit., hlm. 174-202
20 Rasjidi, Op.cit., hlm. 27, 49-54.
pragmatisme yang terkandung dalam Realisme itu lebih banyak muncul di Amerika. Sebagaimana
dapat di lihat dari uraian di bawah, akar Realisme Hukum ini adalah empirisme, khususnya
pengalaman-pengalaman yang dapat diperoleh dari pengadilan. Dalam hal ini, jelas sistem hukum
Amerika Serikat sangat kondusif dan terbukti memang kaya dengan putusan-putusan hakimnya.
1. Realisme Amerika
Sebagaimana dikatakan oleh Oliver Wendell Hollmes Jr., dugaan-dugaan tentang apa yang
akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebut hukum. Pendapat Hollmes ini
menggambarkan secara tepat pandangan realis Amerika yang pragmatis itu.
Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan
hukum di kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa peristiwa konkret yang muncul. Oleh karena
itu, dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan eksperimental
sifatya. Hukum pun tidak mungkin bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan yang
interdispliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, dan
kriminologi. Dengan penyelidikan terhadap faktor-faktor sosial berdasarkan pendekatan tersebut
dapat disinkron antara apa yang dikehendaki hukum dan fakta (realita) kehidupan sosial. Semua
ini diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif.
G. Realisme Skandinavia21
Tokoh-tokoh utama Realisme Skandinavia, antara lain adalah Axel Hangerstrom,
Olivecrona, Alf Ross, H.L.A. Hart, Julius Stone, dan John Rawls.
1. Axel Hagerstom
Olivecrona (ahli hukum Swedia) menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang
bebas (independent imperatives). Menurutnya, adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai
perintah dari seorang manusia, sebab tidak mungkin ada manusia yang dapat memberikan semua
perintah dari hukum itu ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberi perintah dari hukum itu
dengan negara atau rakyat. Identifikasi demikian merupakan abstraksi dan tidak realistis.
2. Alf Ross (1899-1799)
21 Aprita, Serikat, Adhitya, 2020. Filsfat Hukum. Depok : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, h. 110
Sebagaimana menurut realisme hukum, Ross (ahli Hukum Denmark) berpendapat bahwa
hukum adalah suatu realitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris
belaka, tetapi yang dapat mempertanggung jawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak
dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan
hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan saja.
Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dan simbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan
manusia tentang reliatas.
3. H.L.A. Hart (1907-1992)
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat baik dari aspek eksternal
maupun internalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa,
sebagaimana diartikan oleh Austin. Di samping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap
perintah dan penguasa itu secara batiniah.
4. Julius Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna dari kenyataan
sosial ini dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimana telah
dipraktikkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi, niat Stone menjangkau
lebih jauh lagi. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran
bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam
mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.
5. John Rawls (Lahir 1921)
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang
kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang
masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam
mengembang- kan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran utilitarianisme.
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) merupakan penentang paling keras positivisme
hukum itu, Freirechtslehre sejalan dengan kaum realis di Amerika. Hanya saja, jika aliran realisme
menitikberatkan pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, sedangkan
Freirechtslehre tidak berhenti sampai di situ.
Aliran ini muncul pertama di Jerman dan merupakan sintetis dari proses dialektika antara
ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis.22 Adapun yang dimaksud dengan ilmu hukum
analitis Friedmann adalah aliran yang dibawakan antara lain oleh Austin; sedangkan ilmu hukum
sosio- logis adalah aliran dari Eirlich dan Pound.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum.
Penemu hukuman yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat di
pecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.
KESIMPULAN
Munculnya aliran-aliran filsafat hukum dalam ranah filsafat sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat pada umumnya. Filsafat hukum dengan demikian
adalah ilmu filsafat yang mengambil objek bahasan tentang hukum. Hukum tidak hanya sekadar
dibahas dari fenomena yang ada, melaikan dikupas secara filsafati, sehingga sampai kepada
hakikatnya, atau hingga ke pencarian nilai-nilai hukum secara radikal, spekulatif, dan reflektif-
kritis. Karena sifat-sifat ilmu filsafat inilah, maka jawaban yang diberikan filsafat selalu
"sementara benar."
Dalam pembicaraan hakekat hukum yang menjadi kajian filsafat hukum, dikenal beberapa
aliran atau madzhab, antara lain: (1) aliran hukum alam; (2) postivisme hukum; 3) utilitarianisme;
(4) mazhab sejarah; (5) sociological jurisprudence; (6) realisme hukum; dan (7) freirechtslehre.
DAFTAR PUSTAKA
Aburaera, Sukarno, Muhadar, dan Maskun, 2013. Filsafat Hukum : Teori dan Praktik. Jakarta :
Penerbit Kencana.
Aprita, Serikat, Adhitya, 2020. Filsfat Hukum. Depok : PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Basuki, Z.D., 1989. “Mazhab Sejarah dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan hukum Nasional
Indonesia.” Dalam: Lili Rasjidi & B. Arief Idharta (Eds.). Filsafat Hukum, Mazhab dan
Releksinya. Bandung: Remadja Karya.
Bertens, K., 1992. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2004. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
22 Friedmann, Op. cit., hlm. 147.
Friedmann, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan
I). Terjemahan Mu- hammmad Ariin. Jakarta: Rajawali.
. 1990a. Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosois dan Problema Keadilan (Susunan II).
Terjemahan Muhammad Ariin. Jakarta: Rajawali
. 1990b. Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah Masalah Kontemporer (susunan III).
Terjemahan Muhammad Ariin. Jakarta: Rajawali.
Huijbers, T. 1988. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Cet. ke-5. Yogyakarta: Kanisius.
Lyons, D. 1983. Ethics and the Ride of law. Cambridge: Cambridege University Press.
Paton. G.W. 1951. A TestBook of Jurisprudence. Edisi Ke-2, london: Oxford University press
Raharjo, S. 1986. Ilmu Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Alumni.
Rasjidi, L. 1988. Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu? Cet. ke-4. Bandung: Remadja Karya.
. 1990. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Cet. ke-5, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Von Schmid, .J.J, 1965. Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum. (Terjemahan
R.Wiratno, Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Djamadi), Cet: ke-4. Djakarta:
Pembangunan.
Soekanto, S.1979. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Masyarakat. Jakarta: Rajawali.
Post a Comment for "ARTIKEL. ALIRAN FILSAFAT HUKUM"
Terima Kasih atas kunjungannya