5. Hukum acara pidana
ASAS-ASAS HUKUM ATJARA PIDANA
perlu sadja. Maka dari itu Penuntut Umum tidak boleh setjara semba-
rangan sadja melakukan penuntutan. Penuntutan ini harus disertai alasan-
alasan jang djitu, baik mengenai pembuktian maupun mengenai berlaku-
nja suatu peraturan Hukum Pidana jang tertentu.
Untuk dapat mengemukakan alasan-alasan jang djitu ini, Penuntut
Umum sebelum memadjukan perkara pidana dimuka Hakim, harus ada
kesempatan untuk mengumpulkan bahan-bahan guna alasan-alasan itu.
Bagi keperluan ini Penuntut Umum memperlukan suatu pemeriksaan
terhadap terdakwa, sebelum perkara dimadjukan dimuka Hakim. Peme-
riksaan inilah, jang dinamakan pemeriksaan permulaan.
Oleh karena Djaksalah jang bertanggung djawab atas memperleng-
kapkan hal sesuatu bagi pemeriksaan perkara dimuka Hakim, maka su-
dah selajaknja, bahwa pemeriksaan permulaan itu dalam prinsipnja ber-
ada dibawah pimpinan Djaksa. Ini perlu ditekankan disini, oleh karena
Djaksa, untuk mendjalankan tugas menjusun hasil pemeriksaan permulaan
ini, memerlukan bantuan dari lain-lain pedjabat, terutama dari pihak Ke-
polisian
Dinas Kepolisian dalam peraturan tata-usaha tidak berada dibawah
perintah Kedjaksaan, akan tetapi mengenai pemeriksaan permulaan dalam
perkara pidana Polisi berada dibawah pimpinan dan, kalau perlu, dibawah
perintah Djaksa.
Tentunja, seperti pada umumnja, harus ada kebidjaksanaan dalam me-
lakukan pimpinan ini. Jang sebenarnja amat perlu dalam praktek ialah
kerdja sama jang baik dan praktis antara Kedjaksaan dan Kepolisian. Soal
perasaan perseorangan harus diperhentikan, kalau perlu, akan tetapi dja-
ngan sampai diruntjingkan sehingga pokok soal dari tugas kedua belah
pihak dibelakangkan.
Tentang hal ini Undang-undang Pokok Kedjaksaan mengatakan
dalam pasal 2 ajat 2, bahwa Kedjaksaan mempunjai tugas mengadakan
penjidikan landjutan terhadap kedjahatan dan pelanggaran serta menga-
wasi dan mengkoordinasikan alat-alat penjidik menurut ketentuan-ke-
tentuan dalam Undang-undang Hukum Atjara Pidana dan lain-lain per-
aturan Negara. Menurut pasal 10 ajat 1 Djaksa wadjib djuga dengan ini-
siatip sendiri melakukan tindakan jang dipandang perlu agar supaja suatu
perkara mendjadi lebih terang. Tetapi ini harus dianggap selaku keke-
tjualian. Dalam pasal 19 ajat 1 itu ditegaskan, bahwa pengambilan inisiatip
ini tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 2 ajat 2 tersebut.
4. Pemeriksaan dimuka Umum
Sedjak dahulu kala dirasakan benar-benar, bahwa chalajak ramai ha-
rus diberi kesempatan untuk menjaksikan, bagaimana Hakim melakukan
pemeriksaan perkara pidana. Djustru oleh karena hukuman pidana ber-
akibat hebat bagi kepentingan terdakwa, maka harus sama sekali tiada
persangkaan, bahwa Hakim, akan bertindak tidak adil. Salah suatu sjarat
jang djitu untuk menghilangkan persangkaan ini, ialah penentuan, bahwa
pemeriksaan perkara oleh Hakim dilakukan dimuka Umum. Dengan
begini chalajak ramai dapat mengawasi sendiri djalannja pemeriksaan
itu.
Ada kalanja dirasakan perlu, untuk melarang chalajak ramai menjak-
sikan pemeriksaan
dirasakan dalam perkara-perkara pidana mengenai hal kesusilaan, misal-
nja hal memperkosa seorang gadis untuk bersetubuh. Dalam hal ini, ka-
lau chalajak ramai menjaksikan pemeriksaan perkara, ada banjak kemung-
kinan, bahwa ter dak wa dan saksi-saksi jang bersangkutan sangat malu
untuk me ma djukan keterangan jang sebenarnja, hal mana akan menjulit-
kan pemeriksaan perkara sedemikian rupa, sehingga Hakim tidak dapat
mengambil suatu putusan jang tepat.
Prinsip pemeriksaan perkara oleh Hakim dimuka Umum dengan
keketjualian ini ter muat dulu dalam pasal 29 R.O. sekarang dalam pasal
12 Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke-
hakiman.
perkara pidana oleh Hakim. Biasanja keperluan ini
Keketjualian menurut pa sal ini hanja diperbolehkan apabila
dalam Undang-undang ditetapkan lain atau apabila menurut pengadilan
terdapat alasan iang penting (gewichtige redenen) dan alasan-alasan ini
harus dimuat dala m tjatatan-sidang (proces-ver baal der terechtzitting).
Bagi pemeriksaan permulaan oleh Djaksa prinsip ini semula tidak
berlaku. Bahkan terdakwa selama pemeriksaan per mulaan tidak diper-
bolehkan mengambil seorang pembela. Ini sekiranja dianggaP perlu untuk
menghindarkan, bahwa seorang pembela itu akan mengeruhkan perkara
dalam tingkat pemeriksaan, dalam mana Djaksa baru mengumpulkan
bahan-bahan jang mungkin dapat dipakai bagi penuntutan.
Saja berpendapat, bahwa pada zaman sekarang sebaiknja pada prin-
sipnja dimungkinkan seorang terdakwa sudah didampingi oleh seorang
pembela sela ma pemeriksaan permulaan oleh Djaksa. Ini sesuai dengan
jang telah diuraikan diatas tentang sistim-accusatoir jang sebaiknja harus
dilaksanakan seluas-luasnja. Sudah pada tingkatan pemeriksaan permulaan
ini seringkali terdak wa me mbutuhkan pembelaan oleh seorang ahli hu-
kum. Kalau tidak begitu, terdakwa akan sangat ter belakang dalam ke-
dudukannja terhadap Djaksa dengan alat-alat jang serba lengkap.
Tentunja harus didjaga, djangan sampai pemeriksaan perkara men-
djadi keruh dengan tiada beralasan. Dalam hal ini sebaiknja Djaksa masih
diberi kesempatan untuk, kalau perlu, dalam soal-soal tertentu melarang
seorang pembela untuk tja mpur tangan. Tidak perlu dikuatirkan bahwa
Djaksa akan mempergunakan kekuasa an ini setjara meliwati batas (mis-
bruik), oleh karena selalu masih ada pengawasan dari pihak Kedjaksaan
Agung.
Gagasan saja ini sekarang termuat dalam pasal 27 Ketentuan-keten-
tuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jang berbunji:
Dengan tidak merugikan kepentingan pemeriksaan dalam perkara
pidana penasehat hukum semendjak saat dilakukan penangkapan dan
penahanan seorang, dibolehkan menghubungi dan memberi pembantuan
hukum padanja, dengan tidak menghadiri pemeriksaan permulaan, me-
nurut ketentuan Undang.
Ditambahkan oleh pasal 28, bahwa penasehat-hukum wadjib senan-
tiasa berusaha dalam rangka tudjuan peradilan melantjarkan penjelesaian
perkara dengan mendjundjung tinggi Pantjasila, serta pelaksanaannja
serta rasa keadilan.
5. Pemeriksaan setjara langsung
Djustru oleh karena perkara pidana mengenai langsung kepentingan-
kepentingan seorang terdakwa, maka sudah selajaknja, apabila salah suatu
sifat dari Atjara Pidana ialah, bahwa Hakim dalam pemeriksaan perkara
seberapa boleh harus berhubungan langsung dengan terdakwa. Ini berarti,
bahwa seberapa boleh Hakim harus mendengar sendiri terdakwa. Tidak
tjukuplah dengan adanja surat-surat tjatatan jang memuat keterangan
terdakwa dimuka Polisi atau Djaksa.
Prinsip perhubungan langsung ini djuga berlaku bagi saksi-saksi dan
ahli-ahli, dari siapa keterangan-keterangannja adalah perlu untuk memberi
gambaran jang terang kepada Hakim tentang apa jang betul-betul terdjadi.
Bagaimanapun telitinja seorang membikin tjatatan dari perbilangan
seorang terdakwa, saksi atau ahli, selalu masih lebih terang lagi bagi Ha-
kim, apabila Hakim mendengar sendiri, dari mereka itu. Terutama ten-
tang terdakwa dan saksi, jang harus ditentukan djuga perihal ja atau tidak
mereka dapat dipertjaja, adalah penting tjaranja mereka memadjukan suatu
keterangan dan tingkah polah serta lagak mereka selama pemeriksaan
berdjalan, sedang hal ini semua tidak selalu dapat dimuat dalam tjatatan
pemeriksaan.
Maka dari itu mudah dapat dimengerti, bahwa pada hakekatnja pe-
meriksaan perkara pidana oleh Hakim harus dilakukan setjara langsung.
Penentuan ini di Indonesia dianut bagi pemeriksaan perkara pidana pada
tingkatan pertama dimuka Pengadilan Negeri.
Hanja sebagai keketjualian kepada Pengadilan Negeri diberi kesem-
patan untuk, kalau perlu, mengadakan putusan diluar hadir terdakwa. Hal
ini dulu diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia tahun 1947
no.
Rob
Pada waktu undang-undang ini dibentuk, dalam sidang Dewan Per-
wakilan Rakjat di Jogjakarta mula-mula ada tentangan sengit terhadap
rentjana undang-undang itu, oleh karena dirasakan sangat tidak adil, apa-
bila seorang terdakwa, dengan tidak tahu menahu, sekonjong-konjong
didjatuhi hukuman pidana. Keberatan ini dihilangkan dengan termuat
setjara amendemen suatu pasal dalam peraturan itu, jang mengatakan,
bahwa putusan Hakim diluar hadir terdakwa tidak dapat didjalankan,
apabila tidak telah diberi tahukan kepada terdakwa sendiri dan ia diberi
kesempatan penuh untuk melawan putusan itu.
Tudjuan jang terpenting dari undang-undang itu ialah, untuk dapat
mengambil putusan tentang barang-barang bukti, jang sebelum ada undang-
undang ini, bertimbun-timbun dikantor Kedjaksaan atau dikantor Pe-
ngadilan Negeri, oleh karena belum ada putusan Hakim sebagai akibat
dari ketidak datangannja terdakwa dimuka Hakim, sedang jang berke-
pentingan sangat membutuhkannja.
Dapat dipersoalkan, apakah
kepentingan tentang barang-barang
bukti ini adalah seimbang dengan kepentingan dari pemeriksaan perkara
setjara langsung jang diterobos dengan undang-undang ini. Peraturan
ini sekarang dapat dianggap tidak berlaku lagi dengan adanja pasal 6
Undang-undang Darurat 1951 no. 1, jang menentukan, bahwa dalam
hal ini jang berlaku ialah H.I.R. atau R.I.D., jang tidak mengenal pemu-
tusan diluar hadir terdakwa perihal kedjahatan, ketjuali jang dimaksudkan
dalam pasal 6 tersebut, ajat 1 sub a juncto sub b.
Lain keketjualian dari pemeriksaan setjara langsung terhadap saksi
termuat dalam pasal 259 H.I.R., jang menentukan, bahwa, apabila seorang
saksi, sesudah didengar keterangannja oleh Polisi atau Djaksa, adalah
meninggal dunia, atau oleh suatu sebab jang sah berhalangan untuk meng-
hadap dimuka Hakim, atau tidak dipanggil oleh karena berdiam sangat
djauh dari tempat sidang Hakim, maka keterangan-keterangan dari me-
reka akan dibatjakan sadja disidang Hakim kepada terdakwa.
Pemeriksaan perkara setjara langsung hanja diharuskan dalam pe-
meriksaan tingkatan pertama, sedang pemeriksaan tingkatan kedua oleh
Pengadilan Tinggi dilakukan setjara mempeladjari tjatatan-tjatatan dari
keterangan-keterangan terdakwa dan saksi-saksi atau ahli-sahli dimuka
Hakim dalam pemeriksaan tingkatan pertama. Ini memang diperlukan
oleh praktek, oleh karena biasanja tempat kedudukan Pengadilan Tinggi
adalah djauh sekali dari tempat kediaman para terdakwa, saksi dan ahli,
dan lagi oleh karena sudah semestinja jang amat penting dalam pemerik-
saan perkara pidana adalah pemeriksaan dalam tingkatan pertama.
6. Peradilan pidana ditangan pegawai-Negeri-ahli-hukum
Bahwasanja pada hakekatnja peradilan pidana harus dilakukan oleh
ahli hukum, adalah lajak, oleh karena Hakim Pidana berkewadjiban me-
laksanakan Hukum Pidana dalam praktek. Di Indonesia prinsip ini pada
waktu sekarang tidak mungkin dilaksanakan sepenuhnja untuk seluruh
Indonesia, oleh karena dua sebab, jaitu ke-1, di Indonesia masih sangat
kekurangan tenaga ahli hukum, ke-2, dari para ahli hukum jang ada, tiada
banjak minat untuk mentjurahkan tenaganja dalam kalangan Pengadilan. Jang
belakangan ini sebagian besar disebabkan oleh karena dilain lapangan
kerdja, baik sebagai pegawai Negeri dalam lain Dinas, maupun sebagai
seorang partikelir (pengatjara, dagang, penasehat atau pengurus dari ma-
tjam-matjam perusahaan) mereka sangat lebih dihargai perihal djaminan
hidup berupa gadji dan lain-lain penghasilan.
Dua sebab ini mengakibatkan, bahwa pada waktu sekarang di In-
donesia terpaksa diangkat sebagai Hakim beberapa orang jang mendapat
keahlian hukum melulu dari praktek sebagai Panitera Pengadilan atau
Post a Comment for "5. Hukum acara pidana"
Terima Kasih atas kunjungannya